Welcome


widget

Kamis, 15 Mei 2014

Renungan Untuk Suami Dan Istri

Para Pembaca-baca tentang serba serbi pernikahan, rata-rata 85% semua menyatakan rasa penyesalan karena terlalu cepat menikah dan merasa salah memilih pasangan.

Seorang ibu mengatakan “Andai waktu bisa diputar kembali, aku mengalami banyak kehilangan masa mudaku karena menikah muda. Kesenangan-kesenangan yang seharusnya bisa aku nikmati tidak dapat aku sentuh karena aku harus mengurus anak-anak, di tambah lagi aku memiliki suami yang egois dan cuek. Terlalu asik dengan teman-temannya tanpa memikirkan kami istri dan anak-anaknya.”

Sementara ibu yang lain berkata, “Dia berbeda ketika berpacaran dulu, sekarang dia menunjukkan sifat aslinya. Kami sering bertengkar dan aku merasa tidak tahan lagi. Kami seperti minyak dan air, tidak dapat bersatu. Sepertinya ada sesuatu dalam dirinya yang tidak dapat aku sentuh.”



Dan yang lain berkata “Selama pacaran dia memang sudah menunjukkan sikap cuek. Kadang dia begitu sangat romantis, tapi kadang dia begitu sangat tidak peduli dan acuh. Aku kira pernikahan bisa mengubah segalanya. Mengubah sikap cueknya. Namun ternyata setelah menikah, dia justru semakin cuek dan akan bersikap romantis hanya bila dia memerlukanku untuk memenuhi kebutuhan biologisnya. Berulang kali terbersit rasa ingin meninggalkannya, namun aku masih memikirkan perasaan anakku. Jika dia terus seperti ini, mungkin aku akan pergi meninggalkannya.”

Di forum yang lain, ada seorang ibu yang memiliki 1 orang anak bercerita bahwa suaminya terlalu sibuk dengan dunianya sendiri. Sibuk dengan teman-temannya. Dan bila hari libur tiba, suaminya akan semakin sibuk dengan handphone-nya. Dia merasa tidak diperhatikan dan tidak dipedulikan oleh suaminya. Kalau di ajak jalan, suaminya selalu menolak. Tetapi kalau di ajak jalan oleh teman-temannya, tanpa pikir panjang sang suami langsung pergi. Tidak ada keharmonisan di keluarga.

Berbagai cara sudah dia lakukan. Dari berbicara lembut, merayu, menggoda, berhias, sampai akhirnya dia berkata kasar… suaminya tidak berubah. Kalaupun berubah, paling perubahannya hanya beberapa minggu saja. Kemudian dia bertemu dengan pria lain.  Pria yang bisa memberi kenyamanan dan perhatian yang dia harapkan. Sebut saja nama Pria itu adalah X. Pria itu pun dekat dengan anaknya. Sampai akhirnya anaknya dengan polos berkata kepada ibunya seperti ini, “Mama… mama… aku ingin papa X aja.  Mama cari papa baru aja seperti X. Adek  ga mau punya papa yang sekarang.”
Jreeenggg… apa yang terjadi??? Siapa yang salah dalam posisi ini?
Sang istri atau sang suami?

Of course kita tidak dapat menyimpulkan sesuatu kalau hanya mendengar dari salah satu pihak saja. Mungkin sang suami memiliki kejenuhan yang tidak terucapkan, sehingga bersikap seperti itu. Mungkin juga ada hal yang tidak puas yang dirasakan oleh sang suami kepada istrinya sehingga suami lebih merasa nyaman berada di dekat teman-temannya ketimbang keluarganya. Atau bisa jadi memang tabiat suaminya yang begitu.

Kalau melihat dari sisi cerita si istri, mungkin kita bisa berkata kasihan si istri harus mengalami hal itu. Suaminya tidak perduli dan anaknya sampai meminta papa baru seperti itu. Padahal usia anaknya belum ada 7 tahun, mengapa anak ini bisa berkata seperti itu? Mungkin karena sikap suami yang keterlaluan karena terlalu asyik dengan dunianya sendiri. Sebut saja egois.

So??? Kembali ke pertanyaan semula… Siapa yang bisa di salahkan dalam hal ini???
Jawabannya tidak ada. Tidak ada satu pihak saja yang bisa di salahkan dalam kasus ini. Karena dari pihak suami maupun istri, masing-masing punya peranan. Suami salah, ya istri juga salah. Kalau suami benar, harusnya istri juga benar dong.  Kok bisa begitu??? Ya iyalah masa ya iya dong… Karena ketika sepasang kekasih mengikat janji setia, sehidup semati di hadapan Tuhan, itu berarti mereka sudah menjadi satu tubuh. Dan dari iman yang aku percayai, mereka bukan lagi menjadi dua di hadapan Tuhan melainkan menjadi satu.

Apakah perceraian merupakan jalan keluar yang terbaik? Daripada berselingkuh, lebih baik bercerai
bukan??? Lalu bagaimana dengan psikologis sang anak? Pernahkah para orangtua muda yang memutuskan untuk bercerai memikirkan psikis/kejiwaan sang anak? Please deh, jangan egois…  Bukankah anak itu mengikuti panutan dari orangtuanya?

Kata teman-temanku yang sudah menikah, 97% mereka berkata bahwa kalau sudah menikah, cinta itu menjadi tidak penting lagi, tetapi yang menjadi penting adalah tanggung jawab!

Kebutuhan ekonomi, peranan keluarga besar… mungkin keluarga besar dari pihak si istri atau dari pihak si suami yang ingin ikut campur dalam setiap masalah rumah tangga, atau seorang saudara yang berkata, dia itu adik saya kok jadi istrinya yang ngatur? Dia itu kakak saya, kok jadi suaminya yang ngatur? Seorang saudara kandung merasa punya hak lebih atas saudaranya sehingga merasa sang istri atau sang suami di anggap tidak penting. Karena bagi sebagian orang, saudara sedarah itu jauh lebih penting ketimbang siapapun. Tentu saja hal itu bisa menjadi pemicu keretakan rumah tangga. Dan akhirnya siapa yang menjadi korban?

Orang bilang, anak yang menjadi korban dalam semua masalah di atas. Menurutku bukan hanya anak… sang suami, istri, dan juga anak…. ketiga pihak ini lah yang menjadi korban atas semua problema rumah tangga yang terjadi. Apakah keluarga besar menjadi korban? Atau saudara kandung yang menjadi korban? Aku rasa keluarga besar tidak bisa dikategorikan korban. Karena dalam mahligai rumah tangga, mereka hanya “orang luar“.

Lalu apakah itu berarti keluarga besar tidak penting? Aku tidak bilang begitu, kalian yang bilang begitu. Keluarga besar itu penting. Tapi bukan berarti demi keluarga besar, tanggung jawab sebagai seorang istri atau seorang suami menjadi terbengkalai.




Seorang suami rela memberikan segala-galanya demi keluarga besarnya, sementara istrinya jarang di beri uang untuk kebutuhan hidup, dengan dalih si istri juga bisa cari uang kok. Sehingga beban menyekolahkan anak dan makanan di rumah, istri harus ikut memikulnya. Bahkan 75% beban kebutuhan ekonomi harus di pikul oleh si istri. Selalu membicarakan kejelekan istrinya di depan orang lain dan di depan keluarga
besarnya. Akhirnya tanpa merasa berdosa si suami bilang, saya begini karena kurang perhatian dari istri. Gimana caranya merhatiin suami kalau istri harus kerja cari uang, istri juga harus memasak makanan anak, istri juga yang harus menyuci dan menyetrika, belum lagi urusan kebersihan rumah, dll, dsb… Tentu saja saat malam tiba, sang istri merasa terlalu lelah untuk melayani suami. Wanita itu bukan robot… Robot aja perlu istirahat apalagi wanita!

Bagaimana kalau kasusnya di balik? Sang istri merasa beban tanggung jawab keuangan itu harus di pikul oleh suami. Bukankah pria berkewajiban memenuhi kebutuhan wanita??? Kemudian apa yang di beri suami langsung dilimpahkan ke keluarga besarnya, atau untuk bersenang-senang. Tidak berpikir tabungan untuk masa depan anak, karena di pikirannya tertanam… semua itu tanggung jawab suami kok.  Kalau istrinya punya penghasilan yang jauh lebih besar dari suami, lantas sang suami di anggap remeh dan tidak dihargai. Suami di pandang rendah dan merasa menjadi ratu dalam segala-galanya. Selalu membicarakan kejelekan dan kekurangan suaminya di depan orang lain dan di depan keluarga besarnya.  Ingin dilayani bukannya melayani suami. Atau saat suami baru pulang kerja, tiba-tiba langsung di sambut dengan omelan-omelan tentang kelakuan anak, atau gosip ibu-ibu tetangga. Kalau suami tidak bisa memenuhi keinginannya, istri akan manyun dan ngambek berhari-hari, tidak menghargai perasaan suami. Please deh… Pria itu bukan mesin pencetak uang dan juga bukan robot yang tidak mempunyai perasaan. Sepertinya para wanita harus nonton film transformer… di film itu, robot aja punya per
asaan… apalagi lelaki!

Lalu, apakah orang-orang yang mau menikah harus merasa takut? Bagaimana mengantisipasi hal-hal yang tidak di-ingin-kan tersebut? Bagaimana menurut pendapat kalian?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar